Watu Pinawetengan Suku Minahasa
RITUAL
WATU PINAWETENGAN SEBAGI WUJUD PELESTARIAN BUDAYA SUKU MINAHASA TERHADAP ROH
LELUHUR
Oleh : Syamrotul Mu’ Arofah
Mahasiswa S-1 Program Studi
Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, Fakultas Ilmu Sosial, Unversitas Negeri
Malang
Abstrak
: Minahasa secara etimologi berasal dari kata Mina-Esa (Minaesa) atau Maesa yang berarti jadi satu atau menyatukan,
maksudnya harapan untuk menyatukan berbagai kelompok sub etnik Minahasa yang
terdiri dari Tontemboan, Tombulu, Tonsea, Tolour (Tondano), Tonsa-wang,
Ponosakan, Pasan dan Bantik.Watu Pinawetengan Minahasa telah dikenal sebagai
situs suci dan tempat ritual untuk menyembah para roh leluhur. Watu ini
memiliki sejarah yang sangat berhubungan dengan nenek moyang yakni tou dan lumimuut
yang dahulunya telah melakukan musyawarah di atas batu tersebut. Saat ini watu
pinawetengan tidak hanya digunakan sebagai situs suci namun menjadi cagar
budaya yang dilindungi,setiap tanggal tertentu diadakan upacara yang menjalani
proses panjang dan sangat sakral sehingga menjadi daya tarik bagi masyarakat
luar suku Minahasa untuk datang dan melihat proses ritual berlangsung.
Kata
Kunci : Suku Minahasa,Watu Pinawetengan,Sejarah
dan Proses Ritual Watu Pinawetengan.
PENDAHULUAN
Suku Minahasa merupakan salah satu
suku yang tinggal di wilayah Sulawesi bagian Utara. Suku ini memiliki beberapa
sub entnis seperti Tonsea di
sekitar Timur Laut Minahasa, Tombulu
di sekitar Barat Laut danau Tondano, Tontemboan
atau Tompakewa di sekitar Barat Daya Minahasa, Toulour terdapat di bagian Timur dan pesisir danau Tondano, Tonsawang di bagian tengah dan
Selatan Minahasa, Pasan atau Ratahan di bagian Tenggara Minahasa, Ponosakan di bagian Tenggara
Minahasa, Bantik terdapat di
beberapa tempat di pesisir Barat Laut Utara dan Selatan kota Manado. Etnis yang cukup banyak dan
beragam ini tidak begitu saja ada di Minahasa, namun hal ini tidak jauh dari
sejarah pembagian etnis oleh leluhur terdahulu.
Sejarahnya, dulu para leluhur Minahasa telah
melakukan musyawarah atas pembagian sub etnis serta menjunjung tinggi suatu
demokrasi sejati. Hal ini dapat dibuktikan dengan keberadaanya watu
pinawetengan atau Batu Tempat Pembagian yang berada di Desa Pinabetengan Kecamatan
Tompaso, Kabupaten Minahasa,Sulawesi utara. Saat ini batu tersebut dianggap
sebagai situs suci oleh suku Minahasa tempat di adakannya ritual adat setiap
pada tanggal 3 Januari dan 7 Juli setiap tahunnya. Hal – hal yang dilakukan
oleh suku Minahasa adalah menggunakan atribut – atribut dominan warna merah,
membacakan doa dan pembacaan kitab suci di pembukaan acara, dan diatas batu
diletakkannya beberapa benda seperti telur ayam, pinang,
nasi bungkus, cap tikus, tawaang, rokok, kemenyan, cincin batu akik, tongkat,
keris dan sejumlah bahan lainnya guna menghormati para leluhur
Masyarakat suku
minahasa menyatakan bahwa mereka tidak ingin menyembah berhala dan batu begitu
saja. Namun, ritual ini dilakukan sebagai bentuk implementasi mereka terhadap tou
Minahasa serta menghargai leluhur dotu-dotu dan sekaligus meminta kebajikan dan
perlindungan kita menjalani kehidupan. Oleh sebab itu, dalam paper ini akan
dibahas bagaimana sejarah dari watu pinawetengan serta proses ritual yang
dilakukan selama upacara watu
pinawetengan berlangsung yang digunakan sebagai wujud pelestarian budaya terhadap
roh leluhur suku Minahasa.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang yang telah di paparkan, maka akan diteliti mengenai.
1. Bagaimana sejarah dari adanya
ritual watu pinawetengan suku Minahasa?
2.
Bagaimana proses berlangsungnya ritual watu pinawetengan yang
dilakukan oleh Suku Minahasa ?
PEMBAHASAN
1.
Sejarah Dari Adanya Ritual Watu Pinawetengan Suku Minahasa
Sejarah
watu pinawetengan dahulu berawal dari seorang imam wanita yakni Karema kemudian
seorang wanita bernama Lumimuut dan seorang pria bernama Tour, yang tinggal di
Malesung atau sebutan bagian daerah pegunungan, perbukitan, dataran tinggi yang
dikelilingi oleh lautan, terletak di daerah provinsi sulawesi utara. Kemudian
Lumimuut dan Tour di pertemukan oleh Karema sebagai sepasang suami istri, yang
tinggal bersama di daerah Wullur-Mahatus masih daerah selatan Malesung
(Minahasa) dan kemudian mempunyai anak hingga beranak cucu.
Keturunan
dari Lumuut dan Tour semakin lama bertambah banyak hinnga meluas di daerah Watu
Nietakan yang tidak juah dari Wullur – Mahatus, sehingga terjadilah pemecehan
serta pembagian beberapa kelompok masyrakat dari keturunannya yang terdiri dari
golongan sebagai berikut :
·
Golongan
Makarua Siou
Golongan
yang mengatur kegiatan keagamaan dan adat istiadat, yaitu para Walian dan Tonaas,
·
Golongan
Makatelu Pitu
Yaitu
golongan Teterusan yang terdiri dari para Waranei (Prajurit) dan pimpinannya, yang mengatur
keamanan,
·
Golongan
Pasiowan Telu
Yaitu
golongan yang terdiri dari rakyat biasa, petani, dan pemburu.
Karena
semakin banyaknya masyrakat dari keturunan Tour Lumuut, akhirnya mereka
memutuskan untuk mencari tanah dan tempat pemukiman yang baru untuk disinggahi
dan tidak jauh dari Wullur – Mahatus. Saat semua keturunan berpencar – pencar,
mereka semua dihadapkan oleh berbagai masalah seperti sulitnya untuk
berkomunikasi antar satu sama lain, saling berbeut wilayah, sehingga terjadi
pertikaian antar golongan dikarenakan tidak adanya penentuan dan pengaturan
atas pembagian tanah yang adil.
Tour dan
Lumimuut akhirnya mengumpulkan semua penghulu atau ketua dari 3 golongan untuk
menyelesaikan permasalahan yang terjadi. Mereka lalu mencari suatu tempat untuk
bertemu dan akhrinya menemukan sebuah tempat yang terletak didaerah kaki
pegunungan Tonderukan dan mengadakan musyawarah pembagian wilayah dan tanah
serta pembagian suku yaitu Touwtewoh (Tonsea), Touwsendangan (Toulour),
Toumayesu, dan Toukinembut/Toukembut/Toupakewa (Tountembuan) (Koentjaraningrat,1976:143). Di tempat itu pula Tou berikrar untuk
bersatu, walaupun hidup berkelompok dan berbeda wilayah, juga bersatu untuk
menghalau serangan-serangan dari luar, termasuk tekanan dan serangan dari
daerah Bolaang-Mongondow pada waktu itu sekitar abad 15, dan juga bangsa
Spanyol (Tasikela atau Kastela) pada tahun 1617 sampai 1645, sehingga muncul
perubahan dari “Malesung” menjadi “Maesa” atau “Mina Esa” yang berarti “Menjadi
Satu” yang kemudian berkembang menjadi “MINAHASA”.
Selain
awalnya digunakan sebagai tempat bermusyawarah membagi wilayah suku Minahasa,
Watu Pinawetengan juga digunakan sebagai tempat pertemuan keluarga Minahasa.
Hal ini dilakukan sebagai ajang untuk mempererat tali kekeluargaan antar
sesamanya. Dari pertemuan-pertemuan tersebut, tercetus beberapa amanat antara
lain, Masawawangan yang artinya cipta rasa saling tolong menolong, Masasan yang
artinya cipta rasa persatuan dan kesatuan, dan Malioliosan (baku-baku bae) yang berarti saling berbuat
baik.
Sejak itulah
kemudian penduduk mulai tersebar keseluruh Minahasa, berkembang menjadi suku
dan bahasa : Tonsea, Toumbulu, Tountemboan, Toulour, Tounsawang, kemudian
penduduk pendatang dengan nama Bantik, Pasan, dan Panosakan. Dinamakan watu
pinawetengan artinya batu tempat pembagian (Meweteng) dan batu tersebut
terletak dibawah kaki pegunungan Tonderukan. Ritual watu pinawetengan oleh suku
Minahasa tidak begitu saja dilakukan namun memiliki tujuan para peserta upacara
adat di Watu Pinawetengan merupakan
tokoh-tokoh ideal keturunan To’ar-Lumimu’ut.
Kegiatan upacara
dan musyawarah merupakan representasi institusional, maknanya tidak lain demi
harmonisasi sosial dalam bentuk pembagian karena hal tersebut berdasarkan Nilai
kultural yang terkandung dalam To’ar-Lumimu’ut
mencakup empat nilai yang berbentuk segi tiga sama sisi, yakni kesucian/kemurnian,
kemuliaan/kebajikan, keberanian/kebenaran, kesejahteraan/keadilan, yang
masing-masing dilambangkan oleh Opo’ Empung
’Sang Pencipta’, nuwu’ ’amanat/mediator’, tou ’manusia’, dan tana’ ’bumi/alam ciptaan’. Dalam ritual
tersebut masyarakat suku minahasa juga bisa melestarikan budaya nya seperti
tarian adat yang mulai di tinggalkan selama proses ritual berlangsung, tidak
hanya itu saja masyarakat minahasa juga menghormati para roh – roh leluhur Tour
Lumimuut yang telah melahirkan beberapa nenek moyang suku Minahasa..
2.
Proses Berlangsungnya Ritual Watu Pinawetengan Yang Dilakukan
Oleh Suku Minahasa.
Watu Pinawetangan yang berada di Desa Pinabetengan Kecamatan Tompaso,
Kabupaten Minahasa – Sulawesi Utara merupakan batu tempat pembagian yang digunakan oleh
para leluhur suku Minahasa dalam bermusyawarah untuk membagi sub etnis Minahasa
saat ini seperti Tonsea, Tombulu, Tontemboan, Tondano,
Tonsawang, Ratahan-Pasan, Ponosakan, Babontehu dan Bantik. Selain membagi
wilayah, para leluhur terdahulu juga menggunakan tempat ini untuk berunding
mengenai masalah yang dihadapi pada saat itu.
Watu
pinawetengan saat ini diangggap oleh masyarakat Minahasa sebagai situs suci,
sehingga di tempat ini dilakukan suatu upacara atau ritual setiap pada tanggal
3 Januari dan 7 Julli yang telah di tetapkan oleh Institut Seni Budaya Sulawesi
Utara atau juga disebut sebagai ritual Tonaas sejak tahun 2007. Pada tanggal 3
Januari digunakan sebagai tempat ziarah, namun pada tanggal 7 Juli digunakan
sebagai tempat pertunjukkan budaya seperti tarian adat maengket dan seni musik
kolintang dan musik bambu yang kini mulai terkikis di Minahasa.
Proses
ritual di watu pinawetangan pada tanggal 7 Juli dipimpin oleh para tonaas
masing – masing daerah atau etnis di Minahasa bahkan setiap tahunnya ditentukan
siapa yang menjadi pemimpin dalam ritual dan dari suku yang ada. Hal ini diterapkan,
karena pada dasarnya Tonaas dalam melakukan kegiatan ritual ini pada umumnya
berbeda, baik dalam bentuk persiapannya seperti cara meletakkan sesajen, serta
benda pusaka seperti batu akik dan keris yang diletakkan tepat diatas batu dan
beralaskan kain berwarnakan merah. Namun ada hal kesamaan-kesamaan yang nampak
pada setiap Tonaas dalam melaksanakan kegaitan ritual, yaitu setiap Tonaas
terlebih dahulu Mengalei (berdoa) kepada Opo Empung (Tuhan) dan siri pinang,
kapur dan minuman khas yakni saguer dan cap tikus yang selalu disiapkan serta
diletakkan diatas batu yang beralaskan daun pohon pisang. Ritual ini diutamakan
bagi para pengikut upacara untuk menggunakan pakaian atau kain yang berwarnakan
merah baik untuk kaum laki – laki ataupun perempuan.Tujuan dengan adanya ritual
yang seperti itu tidaklah lain untuk menghormati para roh – roh leluhur suku
Minahasa yang terdahulu dan yang telah menyatukan serta membangun tonggak awal
berdirinya suatu suku etnis yang telah ada serta menyebar di Minahasa –
Sulawesi Utara.
Selama proses upacara berlangsung
banyak para wisatawan atau masyarakat luar Minahasa seperti suku bugis dan sekitranya untuk
bertarsipasi dalam ritual watu pinawetengan biasanaya mereka ikut serta
langsung dalam acara namun harus mendapatkan izin terlebih dahulu dari para
tonaas – tonaas saat itu, tidak hanya itu saja masyarakat luar harus bisa
menelaah dan memperoleh gambaran historis tentang adat istiadat dan
asal-usul Minahasa secara jelas. Informasi awal ini penting supaya ketika
sampai di objek wisata sejarah itu, apa yang digambarkan di benak mereka
menjadi sinkron dengan kenyataan yang dilihatnya.
KESIMPULAN
KESIMPULAN
Masyarakat Minahasa memiliki banyak
kebudayaan, salah satunya ritual watu pinawetengan yang dilakukan setiap pada tanggal
3 januari dan 7 Juli. Watu pinawetengan tidak muncul begitu saja dan masih
memilliki sejarah yang berkaitan dengan nenek moyang suku Minahasa yakni Tou
dan Lomimuut,yang memiliki banyak keturunan anak cucu di setiap daerah utara
Sulawesi Utara,yang kemudian di bagi atas beberapa suku,selama pembagian yang
dilakukan oleh nenek moyang mengadakan musyawarah di tempat batu yang begitu
besar yakni watu pinawetangan,yang kini dianggap sebagai tempat suci bagi suku
Minahasa dan dilakukan sebagai tempat upacara untuk menghormati para leluhur
yang terdahulu. Proses upacara juga dilakukan dengan berbagai macam tahapan dan
aturan seperti haru menggunakan pakaian yang berwarnakan merah,menyiapkan
berbagai macam persembahan untuh para roh leluhur. Watu Pinawetengan ini merupakan identitas suku
Minahasa. Situs budaya ini tak bisa dipisahkan dari peradaban Minahasa saat
ini. Meski banyak kawula muda Minahasa yang tak lagi memahami sejarah
keterkaitan Watu Pinawetengan ini dengan perkembangan suku Minahasa saat ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Jones,David
& Wuisang,Chynthia.Tanpa Tahun.Minahasan
Indigenious Knowlodge:Rethingkhing The
Legitimacy And Value Of Indigenious Ecological Knowledge
In Land Stewardship.Hal.4
Koentjaraningrat.1976.Manusia dan Kebudayann di Indonesia.Djambatan:Jakarta
Tamboto
H.R. , Lasur R.C. , Soidi.2010. Kebudayaan Minahasa: Kajian Etnolinguistik Tentang
Konstruk Nilai Budaya
Lokal Menghadapi Persaingan Global,4(1):68- 70.
Wikipedia.2017.Toar
dan Lumimuut (Online), (https://id.wikipedia.org/wiki/Toar_dan_Lumimuut) diakses 16
Maret 2017.
Wuisang
E.V. , Cynthia.2005.Challenges In
Conversing Indegenous Cultre In Minahasa:Culture,Genius
Loci And The Indonesian Environmental Planning System.Hal
13
Komentar
Posting Komentar